Minoritas



 Gay dan lesbian itu masih merupakan sesuatu yang tabu di Indonesia bahkan mungkin di negara-negara lain. Gue dulu pernah merasa jijik dan takut ketika melihat kaum gay dan lesbian memamerkan kemesraan di depan umum. Bahkan ngeliat gelagat-gelagatnya aja udah serem sendiri. Tapi ketika itu terjadi justru kepada orang-orang terdekat kita, apa yang bisa kita lakukan ya? Egois ga sih, kalau kita marah hanya karena dia mengakui bahwa dia gay? Padahal dia mungkin butuh pertolongan setidaknya untuk ngga dikucilkan.
      Gue punya teman yang mengakui bahwa dirinya gay, pertama kali tau pasti shock banget. Apalagi kalau inget dulu kayaknya dia normal-normal aja. Karena ngga percaya, gue memastikan ke sahabat terdekatnya dia. Dan sahabatnya itu bilang ‘ya’. Lalu gue pikir, ya udahlah gue ngga mau terlalu ikut campur. Tapi karna jadinya penasaran sendiri, gue memperhatikan ke dua sahabat itu. oh iya, biar ngga bingung, gue akan perjelas. Temen gue yang ngaku gay ini, cowok sebut aja namanya Tommy dan sahabatnya cewek, namanya Tita. Si Tita keliatan banget marah saat tau kalau Tommy gay. Mereka sering berantem karena masalah itu. Gue tanya kenapa Tita marah, dia bilang dia marah karena peduli dan ini buat kebaikannya Tommy. Tapi bukannya apakah justru yang dilakukan Tita itu membuat Tommy merasa dirinya ngga diterima lagi?
      Ada banyak hal yang terkadang membuat kita berada di posisi sulit. Gue ngerti banget maksudnya Tita, dia berusaha menolong Tommy. Tapi di sisi lain, caranya Tita justru sempat membuat Tommy merasa dikucilkan. Menjadi kamu minoritas itu ngga mudah dan itu yang sedang dihadapi sama Tommy. Sebenarnya ngga ada salahnya mencoba menolong seseorang untuk kembali berjalan lurus, tapi terkadang cara-cara yang dilakukan harus diperhatikan. Kebanyakan orang akan memberitahu sesuatu dengan kesan menggurui atau menasehati meskipun maksudnya baik tapi ngga semua orang bisa menerima hal itu. kebanyakan orang ketika mengungkapkan kekurangannya sebenarnya hanyalah ingin melepaskan sedikit beban dan didengarkan. Bukan justru mendapatkan ceramah atau nasehat panjang lebar yang malah membuat dia merasa buruk. ketika Tommy mengaku bahwa dirinya gay, ada sisi positifnya dibalik pengakuannya itu. dia berusaha untuk jujur dan tampil menjadi dirinya sendiri bukan menjadi apa yang orang lain inginkan. Gue pernah denger kalimat ini diucapkan salah satu public figure, gue lupa siapa namanya. Dia bilang, “lebih baik dibenci karena menjadi diri sendiri, daripada disukai karena menjadi orang lain”. Dan itulah yang dilakukan oleh Tommy. Dan sebagai seorang sahabat, pada akhirnya Tita berusaha untuk menerima keadaan Tommy dan tetap berteman. Bahkan sekarang dia juga berteman dengan pasangan gay nya Tommy. Ketika Tommy mungkin dikucilkan di tempat lain dan menjadi bahan olok-olok, ada Tita yang akan menghibur dan tetap menemani.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bullying



      Bullying, bukan hal baru lagi di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Entah dari mana awalnya, hingga akhirnya kasus bullying semakin menjamur, di lingkungan rumah, sekolah, kampus, bahkan kantor. Sayangnya pencegahan mengenai perilaku bullying masih kurang, ditambah lagi adegan-adegan kekerasan dalam film. Film-film Indonesia terutama sinetron-sinetronnya tanpa sadar memperlihatkan adegan-adegan bullying. Selalu saja, ada kisah dimana anak paling cantik atau ganteng dan kaya menjadi paling berkuasa dan menindas seseorang yang biasa saja dan kekurangan. Padahal, tanpa disadari kisah-kisah seperti itu memberikan contoh perilaku bullying di berbagai tempat.
      Gue sendiri pernah menjadi korban bullying, meskipun masih dalam skala kecil. Diejek, ngga dihargai, bahkan dimusuhi tanpa sebab. Hal itu terjadi saat SD duduk di bangku SD dan SMP. Yang paling gue ingat adalah saat gue dimusuhi sama teman-teman satu kelas, ini terjadi saat gue SD. Saat itu, gue temenan sama tiga orang cewek, salah satunya ada cewek yang merasa paling berkuasa dan selalu ingin dituruti keinginannya dan diantara kami berempat, gue lah yang paling ngga pernah berkomentar banyak dan paling sering diejek, entah karena apa. Gue ingat, saat itu mereka ngeledekin gue mirip kodok, karena kata mereka gue punya jakun kayak yang harusnya menurut mereka cuma cowok yang punya. Disitu gue marah dan diem ngga ngebales apapun yang mereka omongin, mereka nyuru gue ini itu, gue ga turutin, gue diemin sampai mereka kesal sendiri dan gue dimusuhi sm mereka bertiga. Akhirnya, gue berinisiatif buat berteman sama yang lain dikelas. Belum sampai satu hari, di jam istirahat kelas, salah satu teman dikelas yang tadinya menemani gue karena gue sendirian, dateng dan nangis-nangis. Saat gue Tanya kenapa, ternyata dia diancam buat ngga berteman sama gue. Dan alhasil dikelas itu, ngga ada satupun orang yang mau berteman sama gue karna takut diapa-apain sama tiga cewek itu. lucu? Norak? Sinetron abis? Emang, tapi itulah yang terjadi.
      Ada banyak hal, yang menyebabkan perilaku bullying dilakukan sama anak-anak. Salah satunya adalah senioritas. Untuk beberapa hal, para perilaku bullying kebanyakan bukan anak-anak yang terbilang nakal di rumah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Douglas Gentile dan Brad Bushman dalam Psychology of Popular Media Culture, disebutkan bahwa anak-anak yang terlihat baik juga memiliki risiko untuk menjadi seorang pengganggu dan memiliki beberapa perilaku yang agresif.[1] Berdasarkan penelitian ini, Gentile dan Bushman mengungkapkan, ada enam faktor yang bisa menyebabkan seseorang menjadi seorang pengganggu atau melakukan bullying pada temannya.
  1. Kecenderungan Permusuhan
      Dalam hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan seringkali ngga bisa dihindari. Merasa dimusuhi akan membuat seseorang merasa dendam dan ingin membalas. Pembalasan yang dilakukan kebanyakan justru bukan kepada orang yang melakukan permusuhan terhadapnya, tetapi justru kepada orang lain yang mungkin tidak tahu apa-apa.
  1. Kurang perhatian
      Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah. Peran orang tua disini, jelas menjadi sesuatu yang paling penting. Karena terkadang, tanpa sadar orang tua sering membandingkan anaknya dengan orang lain atau dengan kakak dan adiknya. Sehingga si anak merasa bahwa orang tuanya lebih menyayangi saudaranya dan merasa kurang diperhatikan.
  1. Gender sebagai laki-laki
      Seringkali orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah saat berkelahi. Hal ini secara tak langsung menjadi image kuat yang menempel pada anak laki-laki bahwa mereka harus mendapatkan pengakuan bahwa mereka lebih kuat dibanding teman laki-laki lainnya. Akhirnya perilaku ini membuat mereka lebih cenderung agresif secara fisik. Pernah dengar, kalau katanya anak laki-laki itu ngga boleh nangis, ngga boleh cengeng, ngga boleh manja, ngga boleh ini, ngga boleh itu? Sebenarnya memang ada baiknya membuat anak laki-laki menjadi lebih kuat dan berani. Tapi bukan berarti dia ngga boleh bersikap manja dan nangis ketika merasa sedih. Seseorang berhak menunjukkan perasaannya di depan orang-orang terdekatnya, hal itu terkadang justru lebih baik, dibandingkan menyimpan sesuatu seorang diri dan melampiaskannya kepada hal-hal negative, salah satunya ya berperilaku bullying.
  1. Riwayat korban kekerasan
      Biasanya, anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung 'balas dendam' pada temannya di luar rumah. Ada banyak cara mendidik yang salah yang sering dilakukan oleh orang tua. Kebanyakan orang tua, memarahi sang anak saat anak-anak mereka melakukan kesalahan, sebagiannya malah melakukan kekerasan dengan memukul atau memaki. Padahal cara-cara seperti itu bukannya membuat si anak mengerti dan penurut, tetapi justru menimbulkan sikap dan kelakuan buruk yang melekat di diri anak.
  1. Riwayat berkelahi
      Kadang berkelahi untuk membuktikan kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang memperoleh pujian oleh banyak orang. Banyak orang yang memuji perlakuan seseorang karena menang dalam sebuah perkelahian. Seperti, ketika membela teman, karena terlihat hebat dan sebagainya. Pada intinya apapun alasannya perilaku kekerasan ngga pantas mendapatkan pujian dengan alasan apapun, menyelesaikan masalah ngga harus selalu dengan kekerasan kan?
  1. Ekspos kekerasan dari media
      Televisi, video game, dan film banyak menyuguhkan adegan kekerasan, atau perang. Meski seharusnya, orang tua melakukan pendampingan saat menonton atau bermain video game untuk anak di bawah umur, nyatanya banyak yang belum melakukan ini. Ekspos media terhadap adegan kekerasan ini sering menginspirasi anak untuk mencobanya dalam dunia nyata. Nah, ini dia.. peran media selalu paling besar pengaruhnya. Seperti yang gue bilang di awal, media sering banget menyuguhkan acara-acara yang mencontohkan perilaku-perilaku yang menimbulkan sikap bullying.
      Ada banyak hal buruk yang terjadi pada anak-anak korban bullying, salah satunya bunuh diri atau membunuh atau jadi stress, memang butuh pembinaan yang baik dan peran orang-orang terdekat sangat diperlukan. Tapi ada juga yang justru menjadi termotivasi agar ngga jadi bahan ejekan lagi. Sebagai salah satu orang yang pernah jadi korban bullying, sekarang gue masih tetap berteman dengan orang-orang yang membully gue bahkan ketika bertemu dengan mereka, gue tetap bersikap ramah dan berterima kasih, karena gue jadi lebih kuat dan termotivasi untuk melakukan sesuatu lebih baik agar terhindar dari perlakuan perlakuan bullying. Dan ada rasa bangga ketika gue bisa menunjukkan bahwa, gue ngga akan jadi lemah, ngga akan jadi jatuh hanya karena di bully sama mereka. Karena perlakuan bullying ngga akan mematikan mimpi gue. Kayak Tom Cruise, siapa sangka kalau si om ganteng yang satu ini, pernah jadi korban bullying?
      Tom Cruise pernah mengalami bullying saat kecil. Keluarganya berpindah-pindah seiring ayahnya yang selalu mencari-cari pekerjaan baru untuk menyangga kehidupan rumah tangganya. Atas keadaan itu Tom selalu beradaptasi terus karena berpindah-pindah sekolah. "Saya selalu menjadi anak baru dengan sepatu yang salah, dengan aksen yang salah. Saya tidak punya teman untuk berbagi," kata Tom. Badan Tom saat itu kecil dan mudah untuk didorong. Namun dia memutuskan bangkit dan melawan. Jadi, tiap masuk sekolah baru, dia selalu berkelahi lagi dan lagi.
"Jantungmu berdetak kencang, berkeringat dan kamu merasa ingin meledak. Saya bukan siswa yang terbesar, saya tak pernah suka memukul orang. Tapi saya tahu, jika saya membiarkan pembully itu memukul saya, dia akan melakukannya terus sepanjang tahun. Saat kemudian menantangnya, berantem saja. Saya mengalahkannya. Saya tak pernah suka bully," kata Tom.
"Saya akan membuat diri saya sebagai diri saya sendiri, bukan seperti yang orang lain inginkan saya menjadi apa," tegas Tom.[2]
      Jadi, jangan pernah merasa minder dan jadi takut hanya karena pernah jadi korban bullying. Kayak yang dibilang sama Tom Cruise, tetaplah jadi diri lo sendiri dan ngga perlu mencoba untuk jadi apa yang orang lain inginkan lo untuk menjadi apa.


[1] http://female.kompas.com/read/2012/08/07/14121459
[2] http://news.detik.com/read/2012/07/31/160927/1979563/10/6/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS