Hai, My Future Husband

Hai kamu, seseorang yang pernah mengaku menjadi secret admirer ku . Mengingat kamu, seperti mengingat potongan2 masa lalu, yang ternyata tanpa sadar, selalu ada kamu di setiap bagiannya. Meski hanya untuk satu atau dua menit. Mungkin hanya sekira nya satu jam jika lebih lama. Tapi kamu ada.

Entah untuk sekedar menyapa di sosial media, atau cerita tentang binatang peliharaanku. Masih ingat tidak bagaimana kamu memberiku banyak saran untuk merawat kura2? Atau menemaniku bercerita saat aku kesulitan tidur, meski saat itu kita sama-sama sedang menjalin hubungan dengan orang lain. Dari dulu, kamu selalu jadi sahabat yang luar biasa. Setelah sama-sama melepas seragam putih abu-abu dan menjalani kehidupan masing-masing. Kita hanya bertemu di sosial media. 6 tahun tanpa tatap muka. Kita hanya teman satu sekolah di SMA yang masih menjalin komunikasi dengan baik. Jika saat itu aku tidak merasakan patah hati yang teramat pedih, mungkin saja, saat ini pun kita hanya sekedar teman masa sekolah yang menjalin hubungan baik. Terkadang aku ingin berterima kasih kepada dia yang telah memberi rasa sakit itu, karena tanpa sadar, berkat dia Tuhan memberiku petunjuk untuk kembali bertemu denganmu. Karena tanpa sadar, berkat dia aku bertemu dengan kamu, sumber kebahagiaanku yang tersembunyi.

Ah ya, aku tidak akan lupa, kalimat per kalimat yang kamu tulis di surat cinta pertamamu. "Secret Admirer" begitu kamu menyebut perasaanmu kepadaku dulu. Kini, secret admirer ku akan menjadi mantan kekasih dalam 6 hari lagi. Mantan kekasih yang akan menjelma menjadi Imam di kehidupan baruku.

Hai kamu, yang pernah mengaku jadi pengagum rahasiaku. Aku paham betul bahwa kisah kita tidak lepas dari berbagai konflik. Yang terkadang, serasa terlalu drama hingga mengingatnya kerap membuatku tertawa. Tapi aku tau, itu adalah bagian dari proses. Proses pendewasaan. Proses meyakinkan diri masing-masing. Tau ngga? Kejadian ala sinetron di tempat makan favoritku yang melibatkan seseorang di masa lalumu itu, jadi salah satu pertimbanganku memilihmu hingga kini. Aku tidak akan pernah lupa kejadian konyol nan ajaib itu..

Kini di detik-detik janji yang akan terucap nanti, aku hanya berharap bahwa kamu adalah benar pria yang dipilih Tuhan untuk mendampingiku. Seorang pria yang dewasa, yang menyayangiku dengan tulus, yang menghargai dan memperlakukanku dengan sangat baik, yang memanggil namaku dengan  lembut, dan senantiasa bertutur halus saat kedua matamu menatap teduh di kedalaman mataku.

Saat pertama kali jatuh cinta padamu, aku berharap kamu adalah yang terakhir.  Bukan lagi seseorang yang hanya hadir kemudian pergi. Sebab bagiku, masa itu sudah terlalu lama aku jalani. Taukah kamu? Bahwa bahagiaku tak terhingga saat aku mendengar untuk pertama kalinya, tentang rencanamu membawaku bersama mimpi dan kehidupanmu di masa depan.

Hai nduut, aku akan selalu berusaha untuk menyayangi kamu dengan kedewasaanku, dengan sepenuh-penuhnya pengertianku.  Aku tidak akan segan untuk selalu mengkompromikan segalanya berdua, dengan kepala dingin, dengan hati yang luas, dengan pikiran terbuka, dan dengan kedewasaan kita.

Aku tidak bisa janji, tapi setidaknya aku akan berusaha untuk tidak memperbesar setiap masalah yang akan kita temui nanti. karena aku tahu, masa depan kita tidak pantas kandas hanya karena ego dan gengsi semata.

Aku ingin membuat kehadiranku di setiap rencana masa depanmu hadir untuk melengkapi kehidupanmu, dan kamu melengkapi aku.
Bukankah ini sejatinya cinta? Saling melengkapi, bukan menghakimi?

Kita sudah memulainya dengan baik. Harapannya, di akhir nanti kita juga bisa menjadi lebih baik. Andai bisa, sekiranya pantaskah aku berharap agar kita tidak pernah berakhir?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar